RSS
Menulis adalah sebuah ungkapan perasaan. Walaupun bibir tak mampu berucap namun tulisan mampu mengungkap. Siap-siaplah menjadi tokoh utama dalam cerita Khayalan Siswa Bejo

Selipan Surat Terakhir


Tubuhnya terbaring lemas, tangannya menggengam sebuah surat terakhir dari orang yang sungguh berharga dalam hidupnya. “Ayah...”, setetes air mata membasahi pipinya. Lody, begitulah orang menyebutnya. Ia masih sangat dini untuk menerima kenyataan bahwa hari itu ia tak lagi bersama siapapun. Ayahnya pergi dengan banyak harapan. Ibunya pergi dengan kemuliaan melahirkannya kedunia. Harusnya dia tak disini sendiri, ditempat yang baru 10 tahun yang lalu ia kenal. 


Ia hidup sebatangkara, hidup dari belas kasihan orang-orang yang masih memiliki hati nuari. Makan dari orang-orang yang masih menganggap ia seorang anak yang tak layak hidup sendiri. Malang, sungguh nasib Lody. Ayahnya tak meninggalkan ia tempat berteduh sepetakpun. Kini ia tertidur lelap di kursi taman berwarna hitam. Hanya diterangi rampu taman yang redup, dan diselimuti selembar koran bekas yang basah. “Ayah, dalam malam aku berdoa dengan kesungguhan hati. Aku mampu menjalani ini yah. Tenanglah kau dipelukan Tuhan”. Setiap malam ia selalu berdoa dengan kata-kata yang tak berbeda, dan setiap kali ia berdoa, ia mendengar suara kicauan burung yang merdu. Entah dari mana asal burung itu berada. 

Perutnya tak lagi dapat menahan lapar. Tak seorangpun tau, ia berjalan menelusuri kota Belgia. Membiarkan kakinya yang menjadi raja, kemanapun ia pergi dan dimanapun ia harus berhenti. Seketiak Ia melihat sebuah tempat makan junk food. Ia memberanikan diri untuk masuk dan mengambil sisa makanan orang lain yang tak ia kenal, lalu dengan segera meninggalkan tempat itu. “Terimakasih Tuhan”. Ia terduduk disebuah pohon besar jauh dari keramaian. Pakaiannya yang lusu dan kotor, sandal yang kumal. Dan jaket milik ayahnya. Hanya itu yang ia miliki.

Tak jauh dari tempat ia menghabiskan makanannya, seorang pria berjenggot lebat mendekatinya. “Kamu sendiri ?”. tanya pria itu sangar. 
Lody yang kaget hentak tak menjawab, “dimana rumahmu?”. Tanya pria itu lagi.
Pria berjenggot itu menaikan dagu Lody seakan ingin mengenalinya. Lodypun menjawab dengan nada ketakutan “Saya tidak punya rumah, saya tidak punya orang tua”. Pria itu tersenyum masam. “ikut dengan ku anak laki-laki yang tampan, aku akan memberikanmu hidup yang enak”. Tanpa basa-basi pria itu menarik tangan Lody dan mengajaknya kesebuah rumah kecil yang kotor dan kumal. Lebih mirip seperti gudang. Tampak banyak anak seusianya sedang bersiap-siap. Entah kemana ia tak tahu. “Ni makan !”. memberikan sebungkus nasi. 

“saya dimana?”, tanya Lody pada pria berjenggot itu. “ini rumah mu sekarang, dan kamu harus bekerja untukku..!”, suaranya terdengar jelas ditelingan Lody. Ia tak mampu berbuat apapun. Mungkin ini pilihan yang Tuhan berikan untuk dia yang hanya sebatangkara di Dunia. Mungkin dengan ini dia tidak akan kedinginan, kehujanan lagi untuk tidur. Mungkin dengan ini ia bisa makan dengan lebih mudah. Mungkin dengan ini ia bisa menjadi apa yang Ayahnya inginkan. Pikirnya dalam hati. 

***
Suaranya tak bagus, ia hanya berbekal kaleng bekas berisi batu kecil didalamnya. Berjalan menelusuri kota yang dipikir tak pernah bersahabat dengannya. Ia harus bekerja untuk pria berjenggot itu. Mengamen, meminta-minta, ataupun mencopet. Pekerjaan itu mulai terbiasa ia lakukan beberapa tahun ini. Dan bagi pria berjenggot itu, Lody adalah aset terbesarnya, karena ia selalu menyetorkan uang lebih dari pada teman-temannya, ia juga tak pernah melawan pria itu. 

Sudah menjadi suatu rutinitas bagi Lody untuk melewati sebuah lapangan besar di kotanya. Lapangan ini adalah lapangan sepakbola, tempat para atlet sepak bola berlatih setiap hari. Lody hampir hafal setiap trik dalam permainan sepakbola. Ditangannya saat ini hanya sebuah bola plastik yang ia miliki. Itupun ia ambil dari tongsampah. Lody sangat ingin memiliki bola karet seperti yang digunakan oleh para atlet sepakbola itu. Namun entah kapan ia dapat memilikinya. 

***
Usianya semakin bertambah, kini ia tak lagi si Lody kecil. 14 Tahun, usia yang tak pernah ia sangka mampu ia lewati tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Surat terakhir dari ayahnya masih disimpannya rapi-rapi. Terselip di kantong jaket milik ayahnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Ia masih senang melewati lapangan sepakbola yang sungguh megah itu. Kegemarannya kepada permainan sepakbola dan keinginannya yang mendalam untuk memiliki sebuah bola karet membuat Lody remaja berpikir untuk mengambil sebagian dari hasil kerja seharian yang akan disetorkan ke pria berjenggot itu. Lama kelamaan uangnya terkumpul, tanpa sepengetahuan pria berjenggot itu Lody pergi ke sport store. Disana ia membeli bola yang ia idam-idamkan sejak dulu. Semenjak saat itu Lody lebih lama menghabiskan waktunya untuk bermain bola tak jauh dari para atlet berlatih tanpa memikirkan setoran yang harusnya ia berikan kepada pria berjenggot itu. Semakin lama ia berlatih, semakin mahirlah ia dalam trik permainan sepakbola. Hampir semua trik ia kuasai. 

Suatu ketika Lody tak membawa sepeserpun uang kerumah. Hanya sebuah bola ditangannya. Pria berjenggot itupun marah besar. Akhirnya bola ditangan Lody dirampas dan dibacoknya dengan pisau hingga tak berbentuk bola lagi. Hari itu Lody remaja marah, dan pergi melarikan diri dari tempat itu. Ia menangis, dengan kekecewaan. Udara dingin menusuk tubuhnya. Entah ia harus kemana pergi. Kakinya hanya mampu melangkah kepinggiran Lapangan tempat biasanya ia menghabiskan waktunya. Ia tertidur dirumput hijau yang basah, dan hanya diterangi oleh sebuah lampu yang tinggi. 

**
Ia terbangun ditengah teriakan orang-orang yang mengerumuninya. Mereka berpikir Lody mengalami kecelakaan. Seorang pelatih sepakbola yang masih sangat muda menghampirinya. Dilihatnya tubuh Lody lemas dan badannya terasa hangat. Diangkatnya Lody kedalam asrama. Tak lama Lody tersadar dengan wajah pucat, bibirnya terlihat berkeping seming.
“Saya Alex, jangan hawatir kamu sekarang aman”. Kata Alex sambil memeras handuk untuk kompres.

Lody menceritakan semua tentang hidupnya. Dari Lody kecil si penakut, kini menjadi Lody remaja yang pemberani dan punya mimpi. Alex terkesan mendengar ceritanya. Semenjak pertemuan mereka, Lody diajak tinggal bersama-sama dirumahnya. Alex mengajarkan Lody permainan bola dengan detail. Melihat permainan Lody, Alex berniat untuk memasukkan Lody ke Sekolah Sepak Bola. 

***
"pak, saya mohon terima Lody sebagai salah satu murid di akademik ini. Saya yakin dia akan menjadi pemain masa depan yang akan membawa nama Negara kita nantinya. Dia memiliki potensi yang jarang sekali anak seusianya miliki". Terdengar suara Alex sedang berbincang dengan ketua yayasan. 
"tapi pak Alex, kita tidak bisa sembarangan merekrut murid. Bagaimana dengan biayanya nanti?". Sahut ketua yayasan menentang. 
"bapak bisa potong gaji saya setiap bulannya". Jawab Alex tegas. 
setelah lama mempertimbangkan, akhirnya ketua yayasan mengijinkan Lody untuk menjadi salah satu murid di akademik ternama itu.
Permainan bola Lody semakin hari semakin berkualitas. Pada usia ke 18 tahun, dengan usaha dan kerja kerasnya akhirnya ia direkrut untuk mewakili negaranya menjadi pemain utama diajang yang bergengsi se Dunia. 
***
Sepucuk surat diselipan saku jaket diambilnya. surat itu ia baca perlahan. Surat terakhir dari ayahnya yang membuat ia selalu tersenyum semangat. 

Untuk
 Anakku Lody

Lody, anak ku yang paling aku cintai. Ayah tahu kapan ayah harus pergi meninggalkan kamu bersama kenangan kita. Maafkan ayah yang tak mampu meninggalkan apapun untukmu. Maafkan ayah yang tak pernah mampu menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab. 
Lody anak ku yang terkasih.

Dalam malam ayah selalu berdoa, semoga Tuhan memberikan kekuatan untukmu dalam menjalani hari-hari yang sulit tanpa seorangpun disisimu. Anakku Lody, Ayah berharap kamu menjadi seseorang yang berguna nantinya. tidak seperti ayah yang peminum. tidak seperti ayah yang tak berguna untukmu. Ayah yakin Lody anak ku yang kuat. Kamu mampu menjadi seorang Pemain sepakbola yang besar. Ayah yakin... ! 

Lody anak ku yang malang, 
Ayah berpesan padamu, jika kamu menjadi orang besar nanti. ayah berharap kamu tidak akan pernah melupakan orang-orang yang pernah berjasa  untuk hidupmu. Kamu jangan pernah melupakan orang-orang yang masih sangat membutuhkan. jadilah orang besar yang rendah hati dan saling mencintai. 
Ayah.

***
Kini Lody menjadi orang besar yang tak pernah disangka. Ia tak pernah melupakan jasa-jasa pria berjenggot yang telah bersamanya bertahun-tahun. Lody mendirikan sebuah sekolah gratis khusus sepakbola dipinggiran kota, dan ia membuatkan sebuah tempat makan untuk pria berjenggot itu. 
Dan ia memberikan hadiah yang istimewa untuk Alex, yaitu pendamping hidup yang ia dambakan.

(_Inspiration : Wi_)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cintamu kan melukiskan semua

             Teriakan dimana-mana, terdengar begitu jelas tak jauh dari tempatku terdiam. Aku tak berani keluar dari ruang pengap ini. Ku tuangkan ketakutanku dengan menarikan kedua tanganku diatas wajan. Memulai menuangkan satu persatu bahan makanan yang akan diolah. Memasak dan menyajikan sebuah masakan haruslah penuh dengan cinta ketika kita membuatnya. Namun rasa cinta itu tak dapat aku rasakan jika aku masih berada ditempat ini. Tempat yang aku anggap sebagai ujung dari kematian.
“Ayu masakannya 10 menit lagi harus siap”, itu suara ibu Jeen terdengar sangat jelas dan menyeramkan dibalik jendela bambu pembatas dapur. Seminggu telah berlalu aku menjadi seorang juru masak di salah satu pasukan Tentara Nasional Indonesia di Timor Leste
Mau tak mau aku harus menjalani hidupku penuh dengan tekanan dan kerasnya kehidupan seorang Prajurit. Sebenarnya saat itu aku tak ingin diajak bu Jeen pergi ketempat ini. Namun apa daya, aku tak punya pilihan. Keahlianku hanyalah memasak, tanpa berbekal pengetahuan yang memadai aku harus pergi dari kampung halamanku di Bali untuk mendapatkan gaji yang diiming-imingi begitu besar. Aku yang harus membiayai 4 orang adik ku dan seorang ibuku yang sedang sakit. Tahan tak tahan harus ku melalui hari-hariku dengan tulus dan ikhlas. Walau dengan suasana yang aku anggap tak mendukung.
                                                                 **
            Sarapan kini telah siap dimeja panjang tempat para prajurit makan bersama. Wajah mereka terlihat sangat letih namun tak mampu melawan. Ini adalah sebuah kewajiban, dan pengorbanan kepada Negara. Meninggalkan keluarga tercinta, berbekal keberanian dan keikhlasan. Tetap mampu tersenyum walau setiap nafasnya penuh dengan kegelisahan. Seharusnya mereka tak disini. Perang saudara dengan Timor Leste yang ingin melepas diri dari Indonesia membuat mereka terduduk disini. Berdiri disini, tertidur dengan lelap disini. Dan menanti sebuah kedamaian akan datang. Sekali terjun tetaplah harus disini. Tak ada kata membalik badan untuk menyerah. Indonesia harus tetap utuh dan damai, hanya itulah misi mereka saat ini. 
“Silakan ditaruh dengan rapi”, kata Bu Jeen ramah kepada para prajurit. “Terimakasi ibu, ini sangat enak sekali, jadi kangen masakan emak dirumah”, sahut seorang dari mereka. Terdengar sangat miris. Namun ini pilihan mereka.
                                                                   ***
              Hari ini Ayu terlihat sangat cantik, baju merah jambu, tampak serasi dengan rok motif bunga-bunga jaman itu. Seorang gadis yang menarik tak seorangpun berhenti memperhatikan setiap gerak gerikny. Lap meja ditangannya mulai membersihkan prabotan yang masih tersisa. Suaranya yang merdu bernyanyi-nyanyi mengundang prajurit gagah mendekati sumber suara. Tak disangka kini ia telah berada dibelakang Ayu. Begitu tampan dan gagah dengan pakaian loreng TNI ditubuhnya. Senyum Pria itu begitu mengesankan. Ayu yang begitu kaget melihat seseorang berdiri dibelakangnya spontan berteriak kecil. Tangan yang terlihat kekar itu menutup bibir Ayu. “siapa kamu?”, tanya Ayu panik. “saya, Giri... jangan takut, saya hanya mau pinjam pisau.. benang dibaju saya...”, menunjuk kearah bajunya yang terlilit benang. “oh, iya.. ini”. Memberikan pisaunya. Ayu tak henti-hentinya memandang perwira itu dari dekat. Tampak sangat gagah. Baru kali ini Ayu berbincang langsung dengan salah seorang dari mereka yang rupawan. Senyum Ayu menyambut Giri begitu mengesankan. begitu pula dengan Ayu. Ada hasrat yang berbeda yang dirasa olehnya. 
                 Giri seorang pria perawakan Sunda. bertubuh tinggi dan bersih, tampak berbeda dengan pasukan yang lainnya. Tempat Ini adalah tempat pertama ia di tugaskan oleh negara. Pria berusia 24 tahun yang sangat menawan. 
Sejak pembicaraan di dapur, Ayu selalu memperhatikannya. Begitu pula dengan Giri yang diam-diam selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan Ayu si Juru Masak yang cantik. Ini yang membuat Ayu semakin semangat dan tak pernah lagi mengeluhkan keberadaannya disini. 
                                                                    **
Ini bulan pertamku disini.. 
aku ingat betul September 1975 
Malam ini Giri yang gagah menemuiku di bilik depan dapur. ia memandangku dengan tatapan yang berbeda. tak seperti biasanya kita berbincang. Baju kaos putih yang ia kenakan tampak pas dibadan nya. "Ayu, saya ingin bicara". ucap Giri mengawali pembicaraannya. "iya, Bli Giri ngomong aja", sahut Ayu dengan logat Bali, terdengar sangat kental. "saya suka sama kamu. kamu mau tidak jadi pendamping saya nanti ? saya serius. Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. tapi saya janji, saya akan jadi teman hidup yang baik untuk kamu". aku sangat kaget mendengarnya. ini tak pernah aku dengar sebelumnya. dan aku juga tidak pernah menghadapi ini sebelumnya. Tangannya terasa begitu hangat menggenggam tanganku yang dingin. aku hanya tersenyum dan tak tahu harus berkata apa. tapi yang aku tahu, aku mencintai dia. Giri yang baru aku kenal 1 bulan yang lalu. "Ayu, saya tidak lagi ABG. Saya ingin kamu jadi ibu dari anak-anak saya". ia mencium tanganku. terasa sangat lembut. hatiku bergetar saat itu. . "Bli Giri, Ayu tidak bisa jadi istri yang baik untuk Bli. Tapi Ayu janji akan jadi ibu yang baik untuk anak-anak Bli Giri". sahutku malu-malu. 

malam itu 30 September 1975, awal dari sebuah kisah yang ku impikan berujung dengan bahagia. 


                                                              ***

Oktober 1975 .. 

Suasana di Timor Leste semakin menegangkan. Prajurit berjaga dimana-mana. tak ada lagi tanda-tanda perdamaian. Aku semakin hawatir. Penduduk semakin memanas. tak ada yang dapat memisahkan. Korban berjatuhan dimana-mana. Entah sampai kapan ini akan berakhir. 

         

November 1975...          

Malam itu aku menyempatkan diri menemui Giri di bilik depan dapur. Perasaan cemas yang tak menentu membuatku tak henti-hentinya mondar-mandir. tanganku tak bisa tenang. aku menunggunya lebih dari 30 menit. ia tak kunjung tiba. tak lama kemudian terdengar suaranya berlari dari arah berlawanan. "maaf tadi kami sedang menyusun strategi untuk besok.. ada apa Ayu. wajahmu tampak pucat, kamu sakit?". tanya Giri pada ku. "tidak, Ayu hawatir kamu kenapa-napa. Ayu lihat banyak teman-teman yang terluka akibat serangan dari warga. Tolong jaga diri dengan baik. Ayu tidak ingin Bli terluka". tak terasa air mata membasahi pipiku. ia memelukku erat, begitu erat. dalam pelukannya ia berkata "Saya akan baik-baik saja. Saya janji akan selalu menemani kamu. Saya janji setelah ini kita akan menikah dan hidup dengan kebahagiaan. ini kewajiban saya. kamu tidak perlu hawatir. percayalah Tuhan akan membuat saya selalu disamping kamu". ia melepas pelukannya. menghapus air mataku yang sendu. mencium keningku dengan cinta. Semua kehawatiran sirna begitu saja. 
                                                                 *** 

Pagi itu tampak semua prajurit dikerahkan. Penjagaan semakin ketat. Suara penduduk berteriak dimana-mana penuh amarah. terdengar suara tembakan yang mencengramkan. Aku mengurung diriku ditenda ini. penuh kehawatiran. Hingga malam tiba, aku tak melihan Giri ikut duduk di meja makan panjang. hanya beberapa orang yang lalu lalang di dapur untuk mengambil air. tak seperti biasanya semua makan bersama. Aku memberanikan diri bertanya kepada seorang prajurit "maaf mas, kok tumben tidak ada yang makan malam?". tanyaku ragu. "oh, itu mbak,  mereka pada giliran jaga. Suasana sekarang sangat genting, banyak teman-teman yang terluka. ada yang sekarat juga ditenda medis.". jawabnya seru. 

mendengar berita itu, ketakutan menyelimuti hatiku. Lap ditanganku segera ku letakkan. aku berlari menuju tenda medis. Terdengar suara mengeruh-eruh kesakitan. Darah berceceran dimana-mana. Tampak seorang yang tak asing ku lihat sedang berbaring menggunakan oksigen. Tampak balutan perban di dada dan kakinya. Aku memberanikan diri menerobos masuk. Mendekati sosok itu. Mulai tampak jelas terlihat. "Bli Giri.......". aku berteriak kaget, spon air mata membasahi pipiku. Hal yang ku khawatirkan terjadi. benar-benar terjadi. Seseorang yang aku cintain kini berbaring tak berdaya. Berbaring tanpa asa. "dia terkena tembakan tepat di dada dan kakinya, dari tadi ia belum sadarkan diri". seorang perawat berkata. 
"Bli, bangun .. ini Ayu..", aku menggenggam tangan nya erat. Keringatnya bercucuran, jemarinya mulai bergerak. bibirnya terlihat lusu menahan sakit. "A..a...yu..", berkali-kali ia panggil namaku. 
Air mataku tak henti berlinang, tangannya terasa menggenggam ku. aku segera berbisik "iya iya, Bli ini Ayu... Bli kuat, Bli harus kuat, Ayu akan disini nemenin Bli, dan wujudin mimpi-mimpi kita". ucapku terbata-bata, dibendung kesedihan. Matanya mulai terbuka dan menerawang. "A..a..yu..", ia kembali menyebut namaku. serasa ingin mengucapkan sesuatu. "Iya Bli, Ayu disini...". "Ayu, saya tidak tau apa yang akan terjadi dengan saya. Saya pasrahkan semuanya pada Tuhan...". ia menghela nafas yang terlihat sangat sulit. "Ayu, saya sangat mencintai kamu. maafkan saya tidak bisa menepati janji saya untuk menjadi suami yang baik untuk kamu. tapi saya akan selalu ada untuk kamu, menemani kamu selamanya". aku menggeleng dengan deru air mata yang tak dapat diungkapkan lagi. "ini kalung pemberian ibu saya. Tolong pakai kalung ini. dan kapanpun kamu merindukan saya. Tutuplah matamu dan ciumlah kalung ini dengan kasih. maka saya akan tersenyum untuk mu Ayu". aku mengambil kalung bertuliskan "Giri Gryli Sentosa" .  
"Kamu jangan bicara seperti itu, kamu akan menjadi suami yang baik untuk ku, dan aku akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita. Kita akan pulang dan menikah..". suaraku gemetar. 

tiba-tiba beberapa perawat mengangkat Giri menuju mobil ambulace."sa..sa.. saya ikut". aku menerobos masuk ke mobil ambulance. "Bli bertahanlah... sebentar lagi..". tubuhnya sangat dingin dan pucat. suaranya tak terdengar jelas. ditengah perjalanan seorang perawat berkata "Ya Tuhan, terimalah disisinya...". aku menoleh tajam. "gak.. gak... gak mungkin... Bli Giri bangun... bangun ....banguuunn...", berkali-kali ku coba membangunkannya namun tak ada jawabnya. "yang tabah mbak...". aku pingsan beberapa saat dan tak mengingat apapun.  


November 1975... 

Timor Leste akhirnya melepas diri dan merdeka. Timor Leste,.. menjadi saksi bisu sebuah cinta yang tak akan pernah terlupakan seumur hidupku, dan menjadi saksi dalam tangisku. 
"Giri Gryli Sentosa" seuntai nama yang selalu aku ingat. Hingga hari ini, dia selalu tersenyum lewat kalung bertuliskan "Giri Gryli Sentosa". . . 

Tetaplah menjadi cahaya ketika gelap menyelimutiku

tetaplah menjadi Pelindungku ketika bahaya menghadangku.. 
dan tetaplah tersenyum tuk tenangkan kegundahan ini... 
karena Cinta kita yang melukiskan semua... "GGS". 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dia BUKAN Malaikat



Hari ini aku kembali dihukum lantaran saat upacara bendera aku tak mengenakan pakaian lengkap seragam putih biru yang kucel tanpa dasi terbaru dan emblim sekolahku. Bukan maksudku untuk tidak mengikuti peraturan sekolah namun beginilah keadaan keluargaku yang tak mampu membelikanku seragam yang lengkap. Berkali-kali aku berusaha menjelaskan kepada wali kelasku. Namun tak pernah sekalipun digubris oleh nya. Mereka selalu menyalahkanku. 
 “hahaha..... makanya ngelanggar terus sih lo, sukurin !”, suara teman-temanku berceloteh dihadapanku. Aku berdiri didepan ratusan siswa disekolah ini. Perasaan malu dan sangat sedih mendengar celotehan mereka membuat wajahku memerah. Air mataku tak tertahankan. Aku menoleh kearah guru-guru berbaris disebelah kananku. Mata mereka memandangku begitu tajam, perasaan benci terlihat dari pancaran wajah mereka.
Satu jam berlalu, kakiku terasa sangat kaku, keringatku bercucuran. Aku tahu sebentar lagi aku harus menghadap keruang BK. Ini adalah minggu ke 3 aku dihukum. 

Kakiku mulai melangkah perlahan menuju ruang BK. Kepalaku merunduk tak mampu menegakkan pandangan lurus kedepan. Aku ketakutan. Aku malu. Aku sangat marah. Entah harus marah terhadap siapa. Namun aku merasa begitu tertekan. Ku dengar cibiran guru-guru kearahku. Melewati kantor guru ku ketuk pintu BK dengan jantung yang berdetak begitu kencang. “permisi...”. Pak Rudi mempersilakanku masuk. “maaf pak...”, belum selesai aku berbicara Pak Rudi memotong “saya sudah tau... saya sudah tau... kamu ini sebenarnya alasan saja atau bagaimana sih? Bosan saya melihat kamu setiap hari senin masuk ruangan saya”. Ia mengakhiri kata-katanya dengan pukulan keras dimeja kerjanya. Aku yang serontak kaget tak mampu menahan tangisan. “maa.. maaf pak, bapak saya belum punya uang untuk membelikan saya seragam lengkap”.
“la terus kenapa sekarang kamu pakai sandal ?! kamu pikir sekolah ini pasar ?”, bentaknya padaku.
“sepatu saya tidak bisa dipakai lagi pak, sudah berusaha saya jait, tapi tetap tidak bisa.. “. Sejenak ruangan BK sunyi. Saat ini hanya ada aku dan Pak Rudi. Entah aku tiba-tiba aku merasa sangat resah. Pak Rudi duduk disebelahku “baiklah Rani, kalau memang begitu, bapak tidak bisa memaksa kamu. Kamu bisa datang kerumah bapak nanti malam. Bapak ada sesuatu untuk kamu”. Akupun mengiyakan pinta Pak Rudi. Dengan rasa malu aku keluar dari ruang BK menuju kelasku melanjutkan pelajaran dengan suasana yang setiap hari tak pernah bersahabat.

Sepulang sekolah aku menemui bapak dipangkalan becak tak jauh dari sekolahku. Aku menceritakan kejadian tadi pagi dengan bapak. Namun harusnya aku tak menceritakan hal ini. Mata bapak tampak berkaca-kaca. Tubuhnya melemas. Akupun mencoba mengalihakan pembicaraanku. “bapak nanti Rani diminta untuk kerumah Pak Rudi. Setelah Rani ke rumah Bu Endang bekerja, Rani langsung kerumah Pak Rudi ya. Rani tidak pulang dulu”. Kataku sambil menyalimi tangan bapak. Dan beranjak pergi. 

Seperti biasa aku membantu tetanggaku untuk mempersiapkan dagangan kripik singkongnya. Aku dibayar Rp 1000,- per satu kilo mengupasi dan mengirisi singkong. Hanya ini yang dapat aku lakukan untuk meringankan beban bapak. Ibu sudah lama meninggal karena penyakit yang dideritanya. Kami tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelikan ibu obat. Lantaran obatnya sangat mahal. Tak seorangpun yang bisa membantu kami saat itu. Kakakku yang putus sekolah saat kelas 3 SMP membuatku semakin bersemangat belajar untuk meneruskan cita-citanya. Sekarang ia hanya menjadi kuli panggul dipasar yang hanya mendapat penghasilan Rp 20.000 per hari. 

Aku mengerjakan pekerjaan ini sampai sore hari. Dan sore ini aku mendapat upah yang lumayan yaitu Rp 5000. aku kumpulkan setiap rupiah yang aku dapatkan untuk membeli sepatu. Namun tak pernah kesampaian. Setiap kali uang terkumpul, aku harus membelikannya beras dan lauk pauk. Uang yang diperoleh ayah untuk sekolahku dan menyewa becak milik juragannya. Dan uang yang diperoleh kakak untuk rumah kontrakan yang kami tempati ini. Walau begitu keadaan kami, namun kami selalu bersyukur atas apa yang Tuhan beri untuk  kami.

Sesuai dengan janjiku dengan Pak Rudi untuk kerumahnya, aku berganti pakaian yang ku bawa ditasku. Aku melangkahkah kakiku menjauhi rumah penjual kripik singkong menuju rumah Pak Rudi. Tas yang mulai robek aku tengteng sampai akhirnya aku sampai dirumah yang luas dan tampak tak berpenghuni. Berkali-kali aku panggil nama Pak Rudi. Hingga akhirnya dari kejauahn iapun keluar dari rumahnya. “hei, kamu Rani.. saya pikir kamu tidak jadi datang”. Sapa Pak Rudi 
“maaf pak saya telat”. Rumah Pak Rudi tampak sepi. Memang istrinya tak tinggal bersama dia karena ia dipindah tugas oleh dinas. Akupun masuk kerumah Pak Rudi. Suasananya begitu sepi, hanya sebuah televisi yang hidup meramaikan. Pak Rudi mengambilakan ku segelas air putih. “ini minum dilu”. “iya pak terimakasih, ada apa ya bapak menyuruh saya untuk datang kerumah bapak malam-malam begini?”.
“oh iya, saya dengar cerita kamu tadi pagi, saya merasa sangat kasihan. Ini saya ada sedikit uang untuk kamu membeli kebutuhanmu untuk sekolah”. Pak Rudi memberikanku beberapa lembar seratus rubuan.
“terimakasih banyak pak...saya tidak  tahu harus membalasnya seperti apa”. Aku merasa Pak Rudi adalah malaikatku. Hanya dia yang memahami perasaanku terkucilkan disekolah. Aku yang sangat kegirangan menerima bantuan dari Pak Rudi tidak menyadari maksud darinya. Ia mendekatiku dan sekarang duduk disebelahku. Pak Rudi membelai-belai rambutku. “kamu cantik”. Dan berkali-kali aku singkirkan. Perasaanku mulai tak menentu. Akhirnya aku memutuskan untuk pamit. “pak saya pulang dulu ya sudah malam, terimakasih banyak atas bantuannya...”. Akupun beranjak dari sofa. Pak Rudi menarikku dan mendorongku. Ia memukuliku, karena aku mencoba melawan. Aku berusaha menendangnya namun kekuatanku tak cukup untuk melawannya. Hingga akhirnya aku pulang dengan dosa yang tak pernah aku pikirkan. Ia bukan malaikat. 

Aku tak henti menangis, semalaman suntuk aku menulis pesan singkat untuk bapak dan kakak. Sebelum akhirnya aku mengakhiri hidupku yang tak berguna dan penuh noda ini.... (ode).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS