“hahaha..... makanya ngelanggar
terus sih lo, sukurin !”, suara teman-temanku berceloteh dihadapanku. Aku berdiri
didepan ratusan siswa disekolah ini. Perasaan malu dan sangat sedih mendengar
celotehan mereka membuat wajahku memerah. Air mataku tak tertahankan. Aku menoleh
kearah guru-guru berbaris disebelah kananku. Mata mereka memandangku begitu
tajam, perasaan benci terlihat dari pancaran wajah mereka.
Satu jam berlalu, kakiku terasa
sangat kaku, keringatku bercucuran. Aku tahu sebentar lagi aku harus menghadap
keruang BK. Ini adalah minggu ke 3 aku dihukum.
Kakiku mulai melangkah perlahan
menuju ruang BK. Kepalaku merunduk tak mampu menegakkan pandangan lurus
kedepan. Aku ketakutan. Aku malu. Aku sangat marah. Entah harus marah terhadap
siapa. Namun aku merasa begitu tertekan. Ku dengar cibiran guru-guru kearahku. Melewati
kantor guru ku ketuk pintu BK dengan jantung yang berdetak begitu kencang. “permisi...”.
Pak Rudi mempersilakanku masuk. “maaf pak...”, belum selesai aku berbicara Pak
Rudi memotong “saya sudah tau... saya sudah tau... kamu ini sebenarnya alasan
saja atau bagaimana sih? Bosan saya melihat kamu setiap hari senin masuk
ruangan saya”. Ia mengakhiri kata-katanya dengan pukulan keras dimeja kerjanya.
Aku yang serontak kaget tak mampu menahan tangisan. “maa.. maaf pak, bapak saya
belum punya uang untuk membelikan saya seragam lengkap”.
“la terus kenapa sekarang kamu
pakai sandal ?! kamu pikir sekolah ini pasar ?”, bentaknya padaku.
“sepatu saya tidak bisa dipakai
lagi pak, sudah berusaha saya jait, tapi tetap tidak bisa.. “. Sejenak ruangan
BK sunyi. Saat ini hanya ada aku dan Pak Rudi. Entah aku tiba-tiba aku merasa
sangat resah. Pak Rudi duduk disebelahku “baiklah Rani, kalau memang begitu,
bapak tidak bisa memaksa kamu. Kamu bisa datang kerumah bapak nanti malam. Bapak
ada sesuatu untuk kamu”. Akupun mengiyakan pinta Pak Rudi. Dengan rasa malu aku
keluar dari ruang BK menuju kelasku melanjutkan pelajaran dengan suasana yang
setiap hari tak pernah bersahabat.
Sepulang sekolah aku menemui
bapak dipangkalan becak tak jauh dari sekolahku. Aku menceritakan kejadian tadi
pagi dengan bapak. Namun harusnya aku tak menceritakan hal ini. Mata bapak
tampak berkaca-kaca. Tubuhnya melemas. Akupun mencoba mengalihakan
pembicaraanku. “bapak nanti Rani diminta untuk kerumah Pak Rudi. Setelah Rani ke
rumah Bu Endang bekerja, Rani langsung kerumah Pak Rudi ya. Rani tidak pulang
dulu”. Kataku sambil menyalimi tangan bapak. Dan beranjak pergi.
Seperti biasa aku membantu
tetanggaku untuk mempersiapkan dagangan kripik singkongnya. Aku dibayar Rp
1000,- per satu kilo mengupasi dan mengirisi singkong. Hanya ini yang dapat aku
lakukan untuk meringankan beban bapak. Ibu sudah lama meninggal karena penyakit
yang dideritanya. Kami tidak memiliki uang sepeserpun untuk membelikan ibu
obat. Lantaran obatnya sangat mahal. Tak seorangpun yang bisa membantu kami
saat itu. Kakakku yang putus sekolah saat kelas 3 SMP membuatku semakin
bersemangat belajar untuk meneruskan cita-citanya. Sekarang ia hanya menjadi
kuli panggul dipasar yang hanya mendapat penghasilan Rp 20.000 per hari.
Aku mengerjakan
pekerjaan ini sampai sore hari. Dan sore ini aku mendapat upah yang lumayan
yaitu Rp 5000. aku kumpulkan setiap rupiah yang aku dapatkan untuk membeli
sepatu. Namun tak pernah kesampaian. Setiap kali uang terkumpul, aku harus
membelikannya beras dan lauk pauk. Uang yang diperoleh ayah untuk sekolahku dan
menyewa becak milik juragannya. Dan uang yang diperoleh kakak untuk rumah
kontrakan yang kami tempati ini. Walau begitu keadaan kami, namun kami selalu
bersyukur atas apa yang Tuhan beri untuk
kami.
Sesuai dengan
janjiku dengan Pak Rudi untuk kerumahnya, aku berganti pakaian yang ku bawa
ditasku. Aku melangkahkah kakiku menjauhi rumah penjual kripik singkong menuju
rumah Pak Rudi. Tas yang mulai robek aku tengteng sampai akhirnya aku sampai
dirumah yang luas dan tampak tak berpenghuni. Berkali-kali aku panggil nama Pak
Rudi. Hingga akhirnya dari kejauahn iapun keluar dari rumahnya. “hei, kamu
Rani.. saya pikir kamu tidak jadi datang”. Sapa Pak Rudi
“maaf pak saya
telat”. Rumah Pak Rudi tampak sepi. Memang istrinya tak tinggal bersama dia
karena ia dipindah tugas oleh dinas. Akupun masuk kerumah Pak Rudi. Suasananya begitu
sepi, hanya sebuah televisi yang hidup meramaikan. Pak Rudi mengambilakan ku
segelas air putih. “ini minum dilu”. “iya pak terimakasih, ada apa ya bapak
menyuruh saya untuk datang kerumah bapak malam-malam begini?”.
“oh iya, saya
dengar cerita kamu tadi pagi, saya merasa sangat kasihan. Ini saya ada sedikit
uang untuk kamu membeli kebutuhanmu untuk sekolah”. Pak Rudi memberikanku
beberapa lembar seratus rubuan.
“terimakasih
banyak pak...saya tidak tahu harus
membalasnya seperti apa”. Aku merasa Pak Rudi adalah malaikatku. Hanya dia yang
memahami perasaanku terkucilkan disekolah. Aku yang sangat kegirangan menerima
bantuan dari Pak Rudi tidak menyadari maksud darinya. Ia mendekatiku dan
sekarang duduk disebelahku. Pak Rudi membelai-belai rambutku. “kamu cantik”. Dan
berkali-kali aku singkirkan. Perasaanku mulai tak menentu. Akhirnya aku
memutuskan untuk pamit. “pak saya pulang dulu ya sudah malam, terimakasih
banyak atas bantuannya...”. Akupun beranjak dari sofa. Pak Rudi menarikku dan
mendorongku. Ia memukuliku, karena aku mencoba melawan. Aku berusaha
menendangnya namun kekuatanku tak cukup untuk melawannya. Hingga akhirnya aku
pulang dengan dosa yang tak pernah aku pikirkan. Ia bukan malaikat.
Aku tak henti
menangis, semalaman suntuk aku menulis pesan singkat untuk bapak dan kakak. Sebelum
akhirnya aku mengakhiri hidupku yang tak berguna dan penuh noda ini.... (ode).
2 komentar:
utk bbrpa cerita yg aku baca, pemilihan diksi & idenya bagus kok :)
cm mungkin yg agak mengganggu itu kayak tanda baca (mis: ...... kebanyakan), penempatan tanda baca, huruf capital, yg berhubungan sm EYD gitu.
keliatan lbh rapi kalo pake EYD ;) sukses ya~
mks kk kritiknya :D
Posting Komentar